Saat ini kegiataan Public Relation atau Humas tidak pernah lepas dari bentuk komunikasi visual. Perkembangan media berbasis online atau kita mengenalnya dengan istilah New Media membuat praktisi Humas memandang penting komunikasi visual sebagai pendukung kegiatannya. Komunikasi visual dalam kegiatan Humas bisa memanfaatkan berbagai bentuk media seperti media diam atau media bergerak. Pemilihan media visual yang layak secara teknis dan konten yang relevan akan sangat berpengaruh dalam kegiatan Humas, yakni menjadi sarana komunikasi lingkungan dalam dan luar organisasi yang efektif. Alasan mengapa komunikasi visual menjadi pentig adalah karena audiens di era modern cenderung mementingkan tampilan visual dibandingkan hanya naskah tulisan saja. Hal ini menandakan jika Humas pada saat ini harus memikirkan bagaimana memadukan komunikasi visual yang menarik secara teknis dan konten dengan naskah tulisan yang lengkap dalam kegiatan Humas modern.
Secara umum aktifitas Humas adalah melakukan berbagai publisitas tentang segala kegiatan organisasi, baik bagi lingkungan dalam organisasi maupun lingkungan luar organisasi atau dalam hal ini adalah masyarakat. Kegiatan publisitas kepada masyarakat bisa dilakukan secara langsung maupun dengan bermitra dengan lembaga media massa. Humas melakukan publisitas dengan maksud untuk membangun citra organisasi atau mengatasi krisis yang terjadi. Masyarakat sebagai lingkungan luar dianggap memiliki pengaruh besar bagi keberlangsungan organisasi, terutama bagi organisasi yang mementingkan keuntungan dari masyarakat. Humas dikatakan berhasil apabila telah mampu mempengaruhi masyarakat, terutama dalam mengatasi krisis organisasi. Di sisi lain, kegiatan Humas juga bertujuan mengkontruksi opini masyarakat untuk memudahkan branding organisasi.
Salah satu bentuk komunikasi visual yang sering dimanfaatkan oleh Humas adalah Fotografi. Fotografi sebagai salah satu bentuk komunikasi visual telah berusia hampir 2 abad sejak pertama kali ditemukannya teknik fotografi pada awal abad ke-19. Sejak saat itu perkembangannya telah mempengaruhi berbagai keilmuan modern baik secara langsung mapun tidak langsung. Selanjutnya perkembangan fotografi menjadikannya sebagai kebutuhan terpenting masyarakat modern sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan.
Fotografi sebagai media komunikasi visual sangat berperan dalam mendukung kegiatan Humas modern. Secara pengertian, fotografi adalah sebuah keilmuan yang mempelajari tentang bagaimana cara memperoleh sebuah gambaran yang disebut foto dengan menggunakan alat yang disebut kamera. Fotografi dalam fungsi Humas tidak hanya sebatas berbagai hal yang berbau teknis saja, melainkan jauh lebih luas seperti komposisi, konten, serta manfaatnya. Jadi fotografi dalam kegiatan Humas modern sangat penting karena fotografi dianggap dapat membantu memvisualkan naskah Humas supaya semakin menguatkan pesan yang ingin disampaikan.
Foto merupakan media representasional dalam konteks komunikasi massa, yakni untuk membuat pernyataan, menjelaskan, atau melaporkan realitas yang sebenarnya. Sebuah foto harus dapat mengkomunikasikan pesan-pesan dengan baik, artinya sebuah foto harus memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa atau kegiatan. Dalam hal ini Humas memanfatkan fotografi sebagai penguat pesan yang ingin disampaiakan.
Hal ini mengisyaratkan jika prkatisi Humas harus dapat memahami konsep komunikasi visual dalam fotografi untuk bisa merepresentasikan pesan yang ingin disampaikan. Sehingga secara langsung, praktisi Humas harus mampu mendapatkan atau membuat foto yang sesuai kebutuhan dan mengutamakan kelayakan teksnis. Praktisi Humas dalam hal ini bisa secara langsung mengambil foto sendiri atau mungkin bekerja sama dengan fotografer profesional untuk mendapatkan foto yang sesuai baik dari segi teknis maupun konten. Secara teoritis praktisi Humas juga harus mampu memilih berbagai foto penting dan bermanfaat sebagai data dokumentasi untuk disimpan. Oleh karena itu praktisi Humas mampu mengerti teori tentang nilai sebuah foto untuk memilih foto terbaik.
Fungsi foto dalam kegiatan Humas bisa dibilang memiliki kesamaan fungsi dengan foto dalam media massa karena keduanya sama-sama mementingkan unsur pesan. Dalam media massa, naskah tulis dan foto punya pijakan masing-masing dan bisa saling melengkapi. Naskah tulis memberikan deskripsi verbal sementara foto memberikan deskripsi visual. Definisi tersebut juga berlaku dalam dunia Humas, naskah yang lengkap dan dan foto yang menarik dan sesuai konten akan semakin memperjelas pesan yang ingin disampaiakan kepada masyarakat.
Pada dasarnya foto humas dan foto jurnalistik memiliki kaidah yang sama yakni harus mewakili konsep 5W + 1H. Namun ada perbedaan yang mendasar yang membuat foto Humas tidak bisa disamakan dengan foto jurnalistik pada umumnya yang ada di media massa. Jika prinsip foto jurnalistik adalah menyajikan realita yang ada tanpa ada unsur rekayasa, akan tetapi foto untuk keperluan Humas boleh saja dikonsep demi kepentingan pesan yang ingin disampaikan. Selain harus merepresentasikan pesan dalam konsep 5W + 1H, foto Humas atau jurnalistik juga harus menaati norma dan aturan lain yang berlaku. Misalnya sebuah foto tidak diperkenankan menampilkan unsur kekerasan atau unsur pornografi. Syarat lainya adalah sebuah foto tidak diperbolehkan menampilkan konten yang berbau hal-hal berbatas usia / dewasa karena bisa saja akan diakses oleh anak dibawah umur.
Sayangnya aturan-aturan yang telah dijelaskan diatas cenderung kurang menjadi perhatian atau bahkan tidak diperhatikan sama sekali oleh kebanyakan paraktisi Humas. Dalam kasusu lain ternyata masih terdapat praktisi Humas yang tidak selektif memilih foto yang akan digunakan atau menghasilkan foto yang sesuai konten. Kasus ini mayoritas sering dilakukan praktisi Humas di daerah. Alasannya adalah karena praktisi Humas di daerah dianggap tidak memiliki bekal keilmuan yang memadai tentang keHumasan secara lengkap. Sedangkan yang lain bahkan merupakan praktisi dengan latar belakang keilmuan berbeda. Kemudian masih adanya kesalah pahaman mendefinisikan publisitas Humas dengan jurnalistik juga menyebabkan subtansi fotografi humas menjadi tidak jelas.
Di Madura dimana praktek Humas masih menjadi hal yang baru secara keilmuan membuat berbagai persoalan akhirnya muncul. Salah satunya adalah ketidakpahaman sebagian besar praktisi Humas dalam mendefnisikan konsep Humas secara benar. Mayoritas masyarakat bahkan masih menyamakan ilmu keHumasan dengan ilmu jurnalistik. Sehinga kegiatan Humas terkesan sebagai lembaga media massa yang dimiliki oleh sebuah organisasi, bertolak belakang dengan prinsip Humas yang seharusnya menjadi pendukung pembentukan wajah organisasi.
Sedangkan dalam hal subtansi fotografi Humas, praktisi Humas dimadura masih belum bisa memaksimalkan komunikasi visual untuk menyampaikan pesan. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai publisitas Humas di madura yang bisa kita lihat di berbagai media massa atau media sosial. Subtansi fotografi Humas masih dianggap setara dengan fotografi jurnalistik, padahal kedua tidak sama baik secara praktek maupun teori. Serta masih banyak foto Humas yang secara teknis dan komposisi dirasa kurang layak untuk disandingkan dengan naskah. Hasilnya adalah penyampaian pesan yang tidak maksimal atau bahkan kesalahan masyarakat dalam memahami pesan yang disampaikan oleh organisasi.
Fotografi dari Masa ke Masa
Fotografi merupakan sebuah proses pengambilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan, artinya fotografi adalah teknik melukis dengan cahaya. Dalam hal ini, tampak adanya persamaan fotografi dan seni lukis, perbedaannya terletak pada media yang digunakan oleh kedua teknik tersebut. Seni lukis menggunakan kuas, cat, dan kanvas, sedangkan fotografi menggunakan cahaya melalui kamera dan sensor film / digital untuk menghasilkan suatu karya/ foto. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya.
Dalam menghasilkan sebuah karya fotografi akan dibutuhkan alat yang disebut kamera. Kamera memiliki prinsip cara kerja yang sama dengan cara kerja mata manusia, yakni sama-sama memiliki lensa, dan memanfatkan pantulan cahaya terhadap suatu objek. Namun perbedaannya adalah jika kamera dapat merekam sebuah gambar kedalam sebuah media penyimpanan. Sedangkan mata, hanya dapat merekam gambar kedalam memori otak dan tidak bisa dilihat secara langsung kepada orang lain.
Di tahun 1826 foto pertama di dunia dibuat oleh Nicephore Niepce asal Perancis. Niepce sampai saat ini dikenang sebagai penemeu teknik fotografi meskipun setelahnya banyak penemu lain yang terus menyempurkan ide Niepce. Secara teknis waktu yang dibutuhkan Niepce untuk menghasilkan sebuah foto adalah 8 jam. Waktu yang sangat lama jika dibandingkan fotografi modern saat ini yang hanya butuh waktu sepersekian detik untuk mengambil sebuah foto pada saat siang hari. Perkembangan fotografi sejatinya merupakan perkembangan yang memadukan tiga aspek keilmuan berbeda, yakni perkembangan ilmu fisika, ilmu kimia, dan teknologi informasi.
Perkembangan fotografi selalu dikaitkan dengan dua aspek utama, pertama adalah perkembangan kamera, dan yang kedua adalah perkembangan media penyimpanannya. Dalam perkembangan kamera kemudian kita membaginya menjadi beberapa format kamera. Sedangkan perkembangan media peyimpanan foto terdiri dari dua era, yakni analog dan digital. Perkembangan media penyimpanan ini selanjutnya mendandai dimasukinya era fotografi modern seperti yang kita ketahui saat ini karena tutur mempengaruhi perkembangan kamera secara digital. Hasilnya adalah perkembangan teknologi fotografi memberi kemudahan untuk mengambil foto dan menyimpannya sehingga menjadi sangat membantu berbagai aktifitas masyarakat modern.
Pembahasan yang pertama adalah tentang perkembangan kamera. Kamera fotografi awalnya mengalami perkembangan dengan tujuan untuk mempersingkat waktu exposure, yakni waktu mengambil gambar melalui prinsip membiarkan cahaya masuk mengenai media penyimpanan. Sebagai perbandingan jika foto pertama di dunia membutuhkan waktu exposure berkisar 8 jam. Saat ini waktu exposure hanya dibutuhkan waktu kurang dari sedetik untuk membekukan objek yang bergerak pada gambar. Perkembangan kamera fotografi saat ini juga sudah berkembang ke berbagai aspek lainnya tidak hanya masalah exposure saja seperti fokus otomatis dan metering pencahayaan otomatis.
Selanjutnya perkembangan kamera, berdasar media penyimpanannya setidaknya terdapat tiga format kamera, pembedaan format kamera ini merujuk pada format media penyimpanan yang digunakan. Sebelum era fotografi digital, fotografi masih menggunakan media film baik film negatif atau positif, kita kemudian menyebutnya dengan istilah fotografi analog. Fotografi analog mengalami perkembangan cukup signifikan berkat jasa George Eastman pendiri dari merk Kodak. Eastman saat itu membuat terobosan dengan membuat sistem fotografi yang lebih praktis dan sederhana, hal ini ditandai dengan ditemukannya rol film yang berisi banyak frame film pada tahun 1884.
Dalam fotografi analog ada tiga jenis kamera, pembedaan jenis kamera karena merujuk pada dimensi ukuran film yang digunakan. Format kamera yang pertama adalah 35mm camera atau pada saat ini disebut dengan istilah kamera full frame. Format ini disebut demikian karena menggunakan media penyimpanan film berukuran lebar 35mm. Kamera dengan format ini merupakan kamera yang umum digunakan oleh kebanyakan orang karena mudah didapat dan relatif murah. Kamera 35mm merupakan kamera yang mulai populer digunakan semenjak tahun 1930an hingga saat ini meskipun digantikan oleh format media penyimpanan digital.
Format selanjutnya adalah format medium dan format besar, kedua format kamera ini memakai dimensi ukuran film yang berbeda. Kamera medium format merupakan kamera yang menggunakan format film lebih lebar dari 35mm. Format medium merupakan format yang jamak digunakan pada awal abad ke-20 sebelum adanya format 35mm. Meskipun format 35mm muncul dan cukup populer karena praktis dan relatif murah, namun medium format masih digunakan oleh banyak orang. Alasannya adalah karena medium format mempu dicetak dengan ukuran sangat besar untuk kepentingan komersial seperti poster reklame iklan. Sedangkan jenis kamera ketiga adalah kamera format besar karena menggunakan format film lebih 4x5 inch. Kamera format besar merupakan format kamera paling awal sebelum adanya medium dan 35mm format.
Perkembangan fotografi selanjutnya ditandai dengankemunculan teknologi digital pada akhir tahun 90an. Teknologi digital merubah format film yang berbasis film analog menjadi sensor digital yang kemudian disimpan ke dalam kartu memori. Era fotografi digital sebenarnya telah dimulai dengan ditemukannya sensor digital pada akhir tahun 1980an oleh perusahaan pembuat roll film Kodak. Namun pada saat itu fotografi digital mengenal istilah adanya megapiksel, yaitu sebutan untuk jumlah titik-titik sensor dalam sebuah kepingan sensor kamera. Pada awal ditemukannya sensor digital ini ukurannya hanya 1 megapiksel sehingga kualitasnya sangat jauh dibandingkan format analog. Sehingga butuh waktu lama bagi masyarakat untuk menerima format digital mengantikan format analog. Alasannya adalah karena relatif mahal dan tidak praktis karena masih membutuhkan peralatan komputer untuk menyimpan dan memproses.
Pelan tapi pasti, barulah pada awal tahun 2000an fotografi digital mulai berkembang pesat dan kualitasnya mulai menyamai format analog. Format digital kemudian menggantikan berbagai format fotografi analog mulai dari 35mm, Medium, hingga Large. Sensor digital yang diawal penemuannya hanya berukuran 1 megapiksel saat ini sudah mencapai lebih dari 100mega piksel, lumrah diaplikasikan ke dalam kamera jenis medium. Fotografi digital juga melahirkan jenis kamera format baru yakni format crop factor yang merupakan kamera dengan ukuran sensor lebih kecil dibawah 35mm. Kemudian ada format 4/3 kamera dimana ukuran sensornya lebih kecil daripada format crop factor kamera. Format crop factor atau istilah lainnya APS C merupakan format kamera digital paling banyak penggunanya karena relatif terjangkau dan variannya sangat banyak.
Perkembangan teknologi digital membuat kemudahan bagi kita untuk mengambil dan menyimpan foto. Segala keperluan yang berhubungan dengan fotografi jadi semakin praktis dan sederhana. Fotografi bukan lagi menjadi hal yang sulit lantaran terlalu teknis dan membutuhkan waktu lama untuk melihat hasilnya. Saat ini setiap orang mampu mengoperasikan kamera berkat adanya fitur serba otomatis sehingga mengambil sebuah foto semudah seperti membuka pintu. Sekali tombol shutter ditekan maka hasil foto bisa langsung kita lihat di layar kamera. Jika kurang puas dengan hasilnya kita bisa melakukan perubahan menggunakan software foto.
Fotografi sebagai Cara Melihat
Popularitas fotografi sebagai alat representasi dimulai sejak era fotografi hitam-putih. Pada saat itu sekitar tahun 1900an fotografi mulai digunakan media massa sebagai salah satu konten jurnalistik. Pada saat itu fotografi mulai digunakan sebagai media untuk merepresentasikan peristiwa atau realita yang terjadi. Berbagai realita yang terjadi selama perang dunia hingga berbagai penemuan teknologi dapat disebarluaskan melalui fotografi. Banyak foto-foto hitam putih yang menjadi fenomenal karena menampilkan berbagai peristiwa penting, mulai dari foto pemancangan bendera Amerika Serikat di pulau Iwo Jima sebagai tanda kekalahan Jepang di perang dunia hingga foto-foto artis Hollywod. Perkembangan fotografi pada satu abad terakhir telah menjadi sebuah cara baru dalam melihat dunia baik sebagai fotografer maupun sebagai masyarakat.
Sedangkan Perkembangan fotografi di Indonesia baru dimulai di zaman penjajahan. Ftot-foto saat itu kebanyakan berkutat pada momen - momen sejarah yang terjadi di Indonesia. Karya-karya fotografi pada masa ini masih bisa kita temui di museum atau buku-buku pelajaran sejarah. Adalah Alex Mendur yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya Frans Soemarto Mendur, keduanya adalah fotografer yang mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik Indonesia pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945. Karya Mendur bersaudara ini yang kemudian dikenal sebagai foto jurnalistik Indonesia yang pertama.
Deniek G Sukarya dalam salah satu bukunya menyebut jika fotografi adalah sebuah cara yang mengajarkan pada kita dalam melihat dunia dan sekaligus memberikan penyadaran baru pada kita akan segala yang ada di sekitar kita. Artinya fotografi bisa merepresentasikan berbagai realita dan peristiwa yang terjadi, baik peritiwa yang menyenangkan maupun peritiwa yang tidak menyenangkan. Melalui fotografi, representasi tentang keindahan sebuah tempat hingga berbagai peristiwa kemanusian bisa tersaji dramatis melalui sebuah foto. Berbagai foto yang selama ini kita lihat sebenarnya adalah cara fotografer dalam melihat sebuah peristiwa atau objek kemudian direpresentasikan. Dalam fotografi peran fotografer sangatlah penting karena akan menentukan kualitas hasil foto, bagaiamana cara fotografer melihat akan menentukan hasil foto yang dihasilkan.
Dalam menghasilkan hasil foto yang baik seorang fotografer tidak hanya berpaku pada masalah teknis saja untuk menghasilkan foto yang tajam tidak kabur, melainkan juga masalah non teknis yakni apa saja yang ada di dalam foto. Jika masalah teknis bisa diatasi dengan berbagai kemudahan teknologi fotografi yang serba otomatis. Maka faktor non teknis menjadi hal yang cukup rumit karena berhubungan dengan dimensi visual seperti komposisi foto, momen, dan subtansi foto. Bisa jadi foto yang bagus secara teknis belum tentu bagus secara non teknis. Terlebih jika fotografi dikaitkan dengan proses penyampaian pesan kepada masyarakat, maka faktor non teknis akan menjadi dominan karena berhubungan dalam merangkai pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui penataan objek dalam sebuah foto.
Komposisi menjadi salah satu faktor non teknis yang cukup penting dalam mengahsilkan sebuah foto yang menarik. Komposisi dalam fotografi diartikan sebagai sebuah seni untuk memanfaatkan berbagai elemen visual seperti sudut / angle, warna, bentuk-bentuk, tekstur, cahaya dan bayangan. Meskipun komposisi ada yeng menyebut bisa dipelajari secara teknis salah satunya adalah berdasarkan aturan Rule of Third, yaitu membagi bidang foto menjadi 9 bagian lalu menempatkan objek dalam salah satu bagian tadi. Namun sejatinya menata komposisi foto adalah belajar melihat harmoni dalam menetukan penataan berbagai objek yang ada. Karena faktor terpenting dalam penentuan komposisi sebuah foto adalah mengerti tentang keseimbangan yang sangat berhubungan dengan keartistikan. Misal dalam komposisi kita mengenal istilah format foto yakni berisi tentang posisi bingkai foto yakni horizontal dan vertikal. Baik format vertikal maupun horizontal keduanya akan memberikan kesan yang berbeda meskipun objeknya sama.
Setidaknya ada tiga cara dalam membuat sebuah komposisi foto supaya tampil lebih menarik. Pertama, komposisi terbentuk dengan cara menentukan letak pemotretan. Sebab terkadang posisi objek selalu dinamis seperti memotret kumpulan manusia, sehingga posisi pemotretan harus disesuaikan untuk menghasilkan komposisi yang menarik. Kedua adalah sengaja mengatur posisi objek sejak awal sebelum dipotret sehingga komposisi sudah terbentuk sejak awal. Terakhir adalah menggunakan teknik cropping atau memotong bagian foto yang tidak dinginkan untuk menampilkan komposisi yang diinginkan. Misal dalam sebuah foto ada banyak sekali objek manusia sementara kita hanya ingin mengambil satu wajah saja.
Meskipun kemampuan fotografi berhubungan dengan skill namun menata harmoni dalam komposisi foto juga membutuhkan waktu serta pengalaman yang relatif lama supaya bisa menghasilkan foto yang menarik. Itulah alasan mengapa foto yang dihasilkan oleh fotografer senior cenderung lebih menarik jika dibandingkan dengan foto dari fotografer pemula.
Momen dan subtansi menjadi faktor non teknis lain yang harus dicermati oleh fotografer. Pasalnya dalam fotografi, momen dan subtansi menjadi penentu dalam menghasilkan foto yang menarik. Bahkan kekurangan foto dalam hal tampilan secara teknis bisa ditutupi dengan kekuatan momen dan subtansinya. Misalnya foto tentang kunjungan pejabat secara tiba-tiba ke dalam sebuah pasar tradisional dengan menggunakan kamera telepon seluler. Meskipun secara teknis foto tersebut tidak akan sebagus hasil foto menggunakan kamera profesional, namun momen dan subtansinya akan lebih penting dan menutupi kekurangan faktor teknisnya. Contoh lainnya adalah seperti foto-foto amatir tentang peristiwa jatuhnya pesawat terbang di sebuah perkampungan yang dimuat oleh media massa. Bukan tanpa alasan jika foto-foto amatir yang dianggap kelayakan secara teknisnya sangat kurang bisa dimuat di media massa bahkan menjadi foto headline. Alasannya adalah momen dan subtansinya yang sangat penting dan berharga sehingga sangat layak dikategorikan sebagai foto layak cetak di media massa. Jadi, foto menarik tidak hanya berdasar dari segi kelayakan teknis saja melainkan juga dari kekuatan faktor non teknis juga. Sebab padasarnya fotografi adalah tentang bagaimana kita melihat dan mengerti pesan yang terdapat dalam foto tersebut yang ingin disampaikan oleh fotografer.
Dalam fotografi tidak ada definisi spesifik tentang kategori foto yang menarik dan bagus. Karena, pertama karena fotografi berhubungan dengan faktor teknis dan non teknis. Kedua fotografi oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai sebuah seni dimana pemaknaannya tergantung penikmat foto, bisa saja menarik atau bahkan dianggap kurang menarik. Parameter ketiga seperti yang dijelaskan fotogrefer senior Yuyung Abdi adalah berhubungan dengan genre fotografi, setidaknya terdapat 22 genre atau jenis fotografi yang ada. Misal foto yang menarik dalam satu genre menjadi tidak menarik dalam genre lainnya. Foto yang secara teknis dan komposisi layak disebut sebagai foto menarik di genre fotografi lanksap tidak bisa dibandingkan dengan foto perempuan cantik sedang berposen di genre fotografi model.
Genre Fotografi |
Still Life Photography | Fine Art Photography | Art Photography | Abstract Photography | X-ray Photography |
Street Photography | Landscpae Photography | Aerial Photography | Macro-Micro Photography | Underwater Photography |
Fashion Photography | Documentary Photography | Infra Red Photography | Digital Imaging | Astrophotography |
Model Photography | Wedding-Prewedding Photography | Pinhole Photography | Nudes Photography | Etnophotography |
Architectural Photography | Jurnalism Photography |
| | | | | |
Kemudian dalam konteks Ilmu Komunikasi, fotografi bisa diartikan sebagai medium yang digunakan fotografer untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Melalui fotografi, seorang fotografer sebagai komunikator ingin menyampaikan pesan dari objek yang diambil gambarnya kepada masyarakat sebagai komunikannya. Pesan–pesan yang disampaikan melalui foto merupakan gambaran Realitas yang terjadi. Masyarakat diajak untuk melihat sebuah kenyataan yang terjadi lewat sebuah foto yang dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. Gaya komunikasi fotografer akan terlihat jelas pada setiap hasil fotonya, apakah pesan direpresentasikan langsung atau mungkin melalui tanda-tanda dalam berbagai objek dalam sebuah foto. Pesan, dalam semiotika dimaknai sebagai susunan tanda-tanda yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan para penerima pesan tersebut, serta dapat menghasilkan arti atau pengertian.
Sedangkan dalam konteks komunikasi visual fotografi sebagai medium komunikasi visual, mempunyai aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi agar penyampainnya dapat diapresiasi oleh khalayak baik secara teknis maupun non teknis.
Empat Kriteria Foto yang baik |
1 | Pesan / isi / gagasan yang akan disampaikan |
2 | Layak secara teknis ( tajam, cukup pencahayaan, saturasi warna baik, cukup kontras) |
3 | Memiliki nilai estetika, melalui pemilihan dan pengaturan benda-benda (subyek/obyek) yang serasi |
4 | Penyajian (presentasi) yang layak, rapi, dan tidak bercacat |
Peran & Fungsi Fotografi Dalam Kegiatan Humas
Pada awal abad ke-20 seorang praktisi Humas bernama Ivy Lee memprakarsai kegiatan Humas secara modern dan terkonsep. Lee menjadikan humas sebagai metode untuk mendekatkan perusahaan dengan kliennya dengan cara memprakarsai kerja sama dengan media massa. Konsep Lee ini menjadikan fungsi Humas layaknya panasea untuk mengatasi krisis hubungan antara perusahaan dengan masyarakat sebagai konsumen. Pasalnya pada masa tersebut media massa dengan beritanya terkesan menyudutkan berbagai perusahaan, akibatnya adalah banyak pihak menjadi terpengaruh sehingga keuntungan perusahaan menjadi menurun.
Sedangkan secara struktural Public Relation atau Humas merupakan bagian integral dimana fungsinya tidak bisa dipisahkan begitu saja dari organisasi. Dalam hal ini Humas memiliki peran penting dalam mempromosikan atau membentuk wajah organisasi. Subtansi peran Humas inilah yang kemudian menjadikannya sebagai alat manajemen yang sangat penting pada saat ini. Urgensi peran Humas bahkan memposisikan Humas sebagai departeman yang langsung bertanggung jawab kepada pimpinan tertinggi.
Cutlip dan Centre menyatakan bahwa Humas memiliki peran penting dalam merencanakan suatu program kegiatan dan komunikasi untuk memperoleh pengertian dan dukungan masyarakat. Fotografi sebagai media komunikasi visual memiliki peran dalam mendukung fungsi tersebut. Selain sebagai media komunikasi visual yang mendampingi naskah deskriptif, fotografi pada era Humas modern menjadi sebuah trend yang disukai oleh masyarakat. Fotografi telah menjadi hal yang lumrah bagi msayrakat saat ini, sehingga fotografi selalu menjadi bagian bagi setiap aktifitas sehari-hari.
Fotografi dapat berfungsi sebagai alat komunikasi visual karena mampu merekam peristiwa yang aktual dan membentuk sebuah citra di dalamnya. Fungsi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh Humas sebagai bahan publisitas yang bisa memvisualkan buah pikiran yang dibuat oleh Humas dalam berbagai artikelnya. Sebab terkadang penjelasan hanya melalui kata-kata tidaklah cukup dan harus dibantu dengan sebuah foto. Hanya dengan sebuah foto maka bisa mewakili ribuan kata-kata di dalamnya. Fotografi saat ini memang menjadi hal yang sangat penting guna mendukung kegiatan kehumasan. Selain bisa menampilkan deskripsi visual kegiatan organisasi, fotografi atau foto-foto yang dihasilkan dapat pula berfungsi sebagai dokumen berharga yang berumur panjang. Fotografi juga memiliki daya tarik kuat dalam memikat perhatian pembaca pada isi berita dan informasi yang disajikan atau dikeluarkan oleh pihak Humas.
Fungsi fotografi dalam kegiatan Humas bisa dibilang memiliki kesamaan fungsi dengan fotografi dalam media massa. Media massa mengenal istilah foto jurnalistik untuk menyebut foto yang memiliki pesan penting dan layak untuk diterbitkan. Secara terpisah definisi Jurnalistik adalah sebagai suatu disiplin ilmu yang mencakup ketrampilan pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum yang dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran.
Foto jurnalistik merupakan salah satu produk jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan selain tulisan. Berita tulis dan foto punya pijakan masing-masing dan bisa saling melengkapi. Berita tulis memberikan deskripsi verbal sementara foto memberikan deskripsi visual. Definisi tersebut juga berlaku dalam dunia Humas, naskah yang lengkap dan dan foto yang menarik dan sesuai konten diharapkan mampu memaksimalkan publisitas Humas.
Foto jurnalistik menurut Wilson hicks, adalah kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang dan sosial pembacanya. Sebuah fotografi jurnalistik harus mengangkat tema atau peristiwa yang aktual yang sedang terjadi di masyarakat dan mengemas foto tersebut dengan unsur jurnalistik yaitu 5W + 1H (What, Who, When, Where, Why dan How ).
Fotografer senior, Kartono Riyadi, bahkan menyebut jika ingin menceritakan besarnya pengangguran berita tulis lebih tepat untuk dipakai, namun untuk menjelaskan indahnya sebuah tempat atau sedahsyat apa sebuah bencana alam, jelas foto lebih bisa berbicara daripada tulisan. Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada keberuntungan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari “being in the right place at the right time” . Foto jurnalistik terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Spot news : Foto-foto insidential/ tanpa perencanaan.
2. General news : Foto yang terencana
3. Foto Feature : Foto untuk mendukung suatu artikel.
4. Esai Foto : Kumpulan beberapa foto yang dapat bercerita.
Kesimpulannya adalah bahwa fotografi dalam Humas memiliki konsep yang sama layaknya fotografi jurnalistik. Sebagaimana fungsi foto jurnalistik dimana menjadi media penyampai pesan, fotografi dalam Humas juga menjadi sarana penyampaian pesan yang dibuat oleh praktisi Humas. Namun ada perbedaan paling mendasar mengapa fotografi jurnalistik tidak bisa disamakan dengan kebutuhan fotografi dalam Humas yakni tentang bagaimana cara mendapatkan foto tadi. Fotografi Jurnalistik menerapkan prinsip bahwa foto yang diperoleh harus menyajikan realita yang ada tanpa ada unsur rekayasa. Artinya adalah foto jurnalistik menampilkan peristiwa yang sebenarnya terjadi tanpa campur tangan dari fotografer yang bisa merubah peristiwa yang terjadi. Fotografer harus bisa mencari komposisi yang menarik tanpa merubah komposisi yang sudah ada, misal peristiwa unjuk rasa yang menampilkan ratusan orang. Fotografer tidak diperkenankan mengatur siapa saja yang akan dijadikan objek foto jurnalistiknya.
Berbeda, fotografi dalam kegiatan Humas bisa dibilang merupakan kegiatan yang bisa dikonsep oleh fotografer. Praktisi Humas dan fotografer mengatur komposisi foto sesuai keinginan mereka. Tujuan pengaturan ini adalah untuk menghasilkan foto yang menarik dan memperkuat unsur pesan yang diinginkan. Hal tersebut dilakukan karena pada dasarnya peran dan fungsi Humas adalah membantu untuk membentuk wajah organisasi sehingga akan selalu menampilkan hal yang positif dan memberikan kesan baik. Definisi ini diberlakukan juga dalam fotografi Humas dimana foto-foto yang dihasilkan harus memberi kesan baik dan mendukung kegiatan organisasi seperti yang dideskripsikan oleh naskah tulisan. Jadi dalam fotografi Humas mengatur komposisi dalam foto baik objek maupun momennya memang merupakan hal lumrah dilakukan. Mengenai komposisi foto, komposisi foto kehumasan tidak jauh beda dengan komposisi foto pada umumnya. Namun yang harus diperhatikan adalah fotografi dalam Humas akan mengutamakan ciri khas atau tanda-tanda yang mewakili organisasi yang sebisa mungkin ditampilkan dalam foto. Meskipun lumrah dilakukan namun setiap pengaturan ini bisa bersifat relatif, artinya sejauh mana diperlukan atau tidak diperlukan karena foto telah sesuai dengan kebutuhan Humas. Konsep foto yang terlalu diatur justru akan menimbulkan kesan yang cenderung disalah artikan oleh audience.
Fotografi dalam kegiatan Humas terbagi menjadi dua fungsi, pertama adalah fungsi ke dalam dan yang kedua adalah fungsi keluar organisasi. Foto yang digunakan untuk kegiatan Humas ke dalam harus menarik bagi para pegawai (employee interets), seperti foto-foto yang digunakan didalam jurnal internal organisasi. sedangkan untuk keperluan di luar organisasi harus, foto harus menarik minat masyarakat / konsumen. Misal foto-foto untuk kebutuhan pameran harus mengandung unsur-unsur promosi sebab tujuan diselenggarakannya pameran adalah untuk promosi dan publikasi.
Subtansi fotografi dalam kegiatan Humas begitu penting karena setiap informasi Humas perlu didukung oleh ilustrasi berupa gambar dan foto-foto yang baik. Alasan ini yang menjadikan praktisi Humas harus memiliki pengetahuan memadai tentang fotografi. Sebagai fotografer, praktisi Humas harus mampu bekerja dengan teknik dan peralatan kerja yang dimilikinya. Hasil foto menjadi hal yang sangat penting sehingga menjadi fotografer harus dilakukan dengan ketelitian yang optimal, kelalaian atau ketidaktahuan akan langsung memengaruhi hasil foto. Praktisi Humas harus memiliki pengetahuan tentang fotografi baik secara teknis maupun non teknis. Unsur non teknis menjadi hal terpenting dalam menyusun pesan karena mengatur komposisi dalam foto.
Sebenarnya praktisi Humas tidak harus menjadi pengambil foto atau fotografer namun juga bisa bekerja sama dengan fotografer profesional. Praktisi Humas harus paham dalam memilih fotografer yang sesuai dengan keperluan Humas. Namun dalam bekerja sama dengan fotogrefer, praktisi Humas harus menyiapkan rangkaian intruksi yang jelas bagi fotografer. Tujuannya adalah untuk menghindarkan foto-foto yang dibuat fotografer tidak sesuai dengan keperluan Humas. Selain harus mengerti bagaimana cara bekerja sama dengan seorang fotografer profesional, praktisi Humas juga bekerja sama dengan media massa. Dalam hal ini praktisi Humas membutuhkan kerja sama ini untuk menyeberluaskan publisitas humas ke masyarakat. Media massa mebutuhkan foto-foto yang relevan dengann naskah serta baik secara teknis dan konten. Praktisi Humas harus mampu memilih foto-foto yang sesuai dan disukai editor media massa. Pasalnya serorang redaktur atau editor dalam media massa pasti akan menampilkan foto yang terbaik dan memiliki relevansi pesan dengan naskah tulisan.
Fotografi dalam kegiatan Humas memiliki banyak kegunaan. Frank Jefkins setidaknya te telah membuat rangkuman atas berbagai macam kegunaan fotografi dalam kegiatan Humas yang terdiri dari 10 kegunaan:
1. Untuk membangun perpustakaan foto yang bisa digunakan setiap saat.
2. Untuk memperindah dan menunjang news release
3. Untuk menunjang sebuah liputan
4. Untuk menceritakan sebuah pesan tanpa naskah
5. Untuk mengisi panel pameran
6. Untuk menunjang kegiatan organisasi
7. Untuk memberi ilustrasi bagi jurnal internal
8. Untuk memberi ilustrasi bagi setiap literatur dan alat visual
9. Untuk menjadi penghias latar sebuah acara
10. Sebagai bahan pembuatan slide dan film
Realita Fotografi KeHumasan Madura
Prektek keHumasan di Madura masih menjadi hal yang terbilang baru baik secara keilmuan dimana masih sedikitnya praktisi yang ada, atau secara sistem dimana fungsi Humas baru-baru ini saja diaplikasikan oleh berbagai lembaga dalam beberapa tahun ini. Realita ini yang menjadi tantangan bagi perkembangan Humas di Madura terutama dalam menjebatanai perbedaan kultur. Secara umum kegiatan Humas di madura telah dijalankan sebagaimana mestinya, yakni melakukan publisitas-publisitas. Namun karena menjadi hal yang terbilang baru maka masih ada praktisi Humas berlatar belakang keilmuan yang tidak memadai, hasilnya adalah peran & fungsi Humas tidak bisa dimaksimalkan.
Kegiatan keHumasan di Madura saat ini telah memanfaatkan New Media atau media online sebagai sarana publisitas, namun kerja sama dengan media massa masih tetap ada dan terus dijaga. Dengan adanya New Media praktisi Humas dengan mudah melakukan berbagai publisitas, salah satunya dengan memanfaatkan media sosial. Dalam prkteknya praktisi Humas hanya perlu menyiapkan naskah serta foto-foto kemudian meng-upload di akun media sosial milik mereka. Sedangkan jika bekerja sama dengan media massa Humas bisa langsung menyiapkan news release atau memberikan bahan-bahan yang kemudian diolah lagi oleh media massa.
Dalam hal subtansi fotografi Humas, praktisi Humas dimadura masih belum bisa memaksimalkan konsep komunikasi visual untuk menyampaikan pesan dalam publisitasnya. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai publisitas Humas di madura yang bisa kita lihat di berbagai media massa atau media sosial. Hasilnya adalah penyampaian pesan yang tidak bisa maksimal atau bahkan kesalahan masyarakat dalam memahami pesan yang disampaikan oleh organisasi. Fenomema ini terjadi karena mayoritas praktisi Humas di daerah khususnya di madura memang tidak memiliki bekal keilmuan yang memadai tentang keHumasan. Sehingga hal-hal yang seharusnya menjadi perhatian dalam fotografi sebagai media komunikasi visual justru tidak diperhatikan oleh kebanyakan parktisi Humas. Fotografi cenderung hanya dianggap sebagai media pelengkap saja tanpa menyadari subtansinya yang besar bagi kegiatan Humas.
Terdapat beberapa hal yang tidak diperhatikan oleh praktisi Humas di Madura dalam subtansi fotografi bagi kegiatan Humas. Pertama adalah masalah teknis yakni bagaimana foto harus layak secara teknis fotografi meliputi fokus dan exposure. Layak secara fokus adalah foto harus tidak blur dan bergoyang sehingga objek yang ditonjolkan akan terlihat jelas. Selanjutnya adalah kelayakan secara exposure yaitu sebuah foto harus tidak gelap maupun tidak terlalu terang berlebihan sehingga objek dalam foto tidak terlihat. Kelayakan secara teknis selain membutuhkan alat yang tepat juga membutuhkan kemapuan fotografi yang memadai. Praktisi Humas tidak hanya harus mengerti kelayakan teknis secara prakteknya namun juga harus mengerti secara teori sehingga bisa memilih foto terbaik jika akan bekerja sama dengan fotoggrafer profesional. Kelayakan secara teknis dibaratkan menjadi pondasi dari sebuah foto untuk selanjutnya diisi pesan yang ingin disampaikan. Jika kelayakan secara teknis sudah terpenuhi maka selanjutnya akan memudahkan dalam mengatur komposisi untuk menyampaikan pesan.
Sayangnya banyak foto dalam kegiatan Humas di Madura cenderung tidak memperhatikan hal ini. Misal masih terdapat foto-foto yang cenderung under exposure / gelap, bahkan terdapat foto yang blur sehingga objek foto yang menjadi tidak jelas. Bahkan terdapat foto-foto yang buram karena terdapat banyak noise lantaran menggunakan kamera yang tidak sesuai. Misal untuk kebutuhan fotografi di malam hari praktisi Humas hanya menggunakan kamera telepon seluler yang berbeda jauh sensornya dengan sebuah kamera foto profesional. Jika kelayakan teknis tidak terpenuhi maka pesan foto kemungkinan tidak tersampaiakan dengan baik. Foto-foto keHumasan yang kurang layak secara teknis biasanya ditemui dalam publisitas yang memanfaatkan New Media seperti media sosial. Namun tidak sedikit publisitas yang menggunakan media massa juga terdapat foto-foto yang kelayakan teknisnya kurang. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan praktisi Humas karena mengirim foto-foto yang tidak layak sehingga media massa kesulitan untuk melakukan pemilihan foto.
Faktor teknis lainnya adalah tentang kualitas cetak sebuah foto Humas apabila digunakan dalam jurnal internal. Fenomena yang timbul adalah sering ditemukan foto-foto yang pecah dan blur, hal ini terjadi karena format file foto yang digunakan oleh fotografer / praktisi Humas tidak memenuhi standart cetak. Ukuran foto yang terlalu kecil karena diambil menggunakan kamera seluler bisa berakibat cetakan foto yang kurang jelas dan penuh noise. Akibatnya adalah publisitas Humas menjadi tidak nyaman dilihat dan kurang artistik, bahkan menyebabkan kesalahan pemaknaan akibat objek foto kurang jelas karena foto yang blur. Oleh sebab itu praktisi Humas harus memahami teknis fotografi baik sebelum, saat memotert, dan sesudah memotret yakni cara pengolahan foto baik secara minor maupun mayor, mengerti berbagai format file foto, termaasuk cara pendataan dan penyimpanannya.
Hal yang selanjutnya adalah kelayakan non teknis seperti komposisi foto dan konten foto. Meskipun dalam fotografi Humas komposisi foto bisa dikonsep sehingga dengan mudah diatur, namun terkadang kesalahan dalam mengatur konsep justru bisa menyebabkan kesalahan penyampaian pesan. Kemampuan mengatur komposisi tergantung pada bagaimana prkatisi humas mengharmonisasikan kemampuan fotografi dengan prinsip-prinsip keHumasan. Sedangkan jika praktisi Humas bekerja sama dengan fotografer maka harus bisa memberikan arahan secara detail. Intinya adalah selain faktor teknis, faktor non teknis dalam fotografi keHumasan juga merupakan hal yang sangat penting.
Sayangnya masih sering ditemukan foto-foto keHumasan di madura yang terkadang tidak memperhatikan komposisi foto. Misal penataan objek yang terlalu ramai, atau foto tidak menampilkan ekspresi objek yang seharusnya atau melakukan aktifitas yang tidak sesuai dengan naskah humas. Selain itu, kesalahan non teknis lain yang sering dijumpai adalah pengaturan komposisi yang terlalu berlebihan sehingga menampilkan foto yang terkesan dipaksakan pengaturannya. Selain itu menambahkan objek tertentu melalui olah digital fotografi berakibat mengurangi nilai keartistikannya karena menghasilkan foto yang terlihat tidak alami. Meskipun melakukan olah digital diperbolehkan untuk meningkatkan kulitas foto dan memperkuat pesan, namun olah digital yang berlebihan akan membuat subtansi fotografi Humas menjadi hilang. Alasannya adalah karena pada dasarnya fotografi Humas sama dengan fotografi jurnalistik yakni menampilkan realita yang terjadi, jadi baik fotografi Humas maupun fotografi jurnalistik seharusnya mengutamakan faktor realita yang terjadi.
Faktor non teknis lainnya adalah tentang konten, konten media merupakan isi dalam sebuah media seperti blog, forum diskusi, gambar digital, video, file audio, iklan, hingga berbagai bentuk media lainnya. Dalam hal ini fotografi sebagai medium komunikasi visual berisi konten sebagai sarana penyampai pesan. Seorang fotografer bertanggung jawab dalam mengatur konten dalam sebuah foto. Bagaimana konten dalam foto mendukung naskah dalam publisitas Humas adalah inisiatif dari fotografer. Jika praktisi Humas tidak mengambil foto sendiri melainkan bekerja sama dengan fotografer profesional maka praktisi Humas juga harus bisa memilih foto-foto yang kontennya sesuai dengan keperluan publisitas. Kesalahan atau ketidakpahaman dalam menentukan foto yang kontennya sesuai akan berakibat kesalahan penafsiran pesan oleh audience atau masyarakat. Realita yang terjadi saat ini adalah masih banyak foto berisi konten yang tidak sesuai dengan naskah, sehingga muncul ketidakselarasan antara foto dengan naskah. Misalnya publisitas tentang kegiatan pengamanan lalu lintas dan sosialisasi keselamatan berlalu lintas yang dilakukan oleh Polantas (Polisi Lalu Lintas), foto yang ideal seharusnya berisi konten tentang keselamatan berlalu lintas seperti petugas menyapa pengendara motor yang menghidupkan lampu dan menggunakan helm beserta perlengkapan keselamatan. Mungkin juga bisa menggunakan foto yang menampilkan petugas sedang menilang pengendara yang telah melakukan pelanggaran lalu lintas. Namun yang terjadi adalah foto yang digunakan berisi konten yang bertolak belakang, misal latar depan foto memperlihatkan petugas sedang mengatur lalu lintas namun di latar belakang justru berisi dua bocah SMP tanpa helm mengendarai sepeda motor tanpa menggubris petugas. Dalam foto tersebut terlihat jika kedua bocah SMP tadi seakan sengaja dibiarkan oleh petugas karena tidak terlihat ada tindakan dari petugas seperti memberhentikan atau menegur. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan naskah yang berisi kegiatan pengamanan lalu lintas dan sosialisasi himbauan keselamatan berlalu lintas.
Contoh lainnya adalah foto-foto yang berisi konten foto yang tidak sesuai dengan norma dan aturan, misal konten foto berisi adegan memegang dan merokok atau bahkan foto-foto yang berisi konten dewasa. Mengapa konten tentang rokok menjadi perhatian, pasalnya rokok dan segala jenisnya merupakan konten yang berbatas usia, bahkan dalam iklan rokok sekalipun saat ini tidak diperbolehkan menampilkan produk rokok secara eksplisit. Batas usia konsumen rokok minimal 18 tahun atau iklan rokok di televisi yang harus tayang di atas pukul 21.00, serta iklan visual yang areanya dibatasi menunjukkan jika rokok dan aktifitasnya merupakan hal yang dibatasi. Bisa dibayangkan jika publisitas tersebut mengenai audience yang tidak seharusnya seperti audience yang usianya masih belum dewasa.
Hal semacam ini yang terkadang luput dari perhatian praktisi Humas. Sehingga kita sering menemui berbagai foto dalam publisitas Humas yang mengandung konten tersebut. Akibatnya adalah foto-foto dalam publisitas tersebut justru menjadi contoh yang tidak baik baik masyarakat khususnya audience dibawah umur. Apalagi jika praktisi Humas telah menggunakan fasilitas media sosial dalam melakukan publikasi dimana bisa diakses dan menjangkau dimanapun. Jika konten dalam foto tidak diperhatikan dan terkesan seadanya maka akibatnya adalah pemaknaan pesan yang cenderung salah akan dilakukan oleh audience. Bahkan publikasi oleh Humas tersebut bisa memberi pengaruh kurang baik bagi pembacanya terutama mengenai citra organisasinya.
Kemudian timbul pertanyaan mengapa foto-foto tersebut berhasil tampil bebas di berbagai publisitas Humas? Ketidaklayakan foto semacam ini bisa terjadi karena pengambilan foto tidak dilakukan oleh praktisi Humas / fotografer yang paham tentang kaidah fotogorafi dan keHumasan, sehingga kegiatan Humas di Madura masih kurang memperhatikan subtansi fotografi sebagai hal yang penting. Kedua adalah karena praktisi yang bertanggung jawab pada pemilihan foto dan publikasi tidak paham tentang kaidah fotograhi dan keHumasan dalam membaca komposisi & konten foto. Ketiga adalah karena terkadang kecepatan publikasi dengan menggunakan media sosial membuat praktisi Humas kurang teliti dalam memilih foto, akibatnya ada beberapa foto yang menampilkan konten yang tidak seharusnya lolos dipublish. Keempat, tidak adanya perhatian dari masyarakat berupa teguran atau kritikan, baik secara formal atau nonformal melalui komentar-komentar jika publikasi menggunakan media sosial. Kelima, adalah kesalahpahaman dalam mendefinisikan fotografi Humas dengan fotografi jurnalistik, akibatnya adalah fotografi Humas menampilkan realitas tanpa melalui proses pengaturan konsep dan konten seperti yang terjadi dalam konsep fotografi jurnalistik. Beberapa contoh fenomena diatas seharus mewakili berbagai fenomena fotografi keHumasan di Madura saat ini.
Penutup
Berdasar berbagai penjelasan diatas, praktisi Humas di Madura sebenarnya telah menyadari berbagai kesalahannya. Sayangnya sebagian besar praktisi Humas memilih jalan pintas yakni bekerja sama dengan praktisi media massa untuk membantu menyipakan naskah publisitas termasuk foto – fotonya. Jadi praktisi media massa membantu Humas menyiapkan naskah selanjutnya praktisi Humas tinggal mempublikasikannya saja. Sayangnya cara seperti ini justru kurang relevan dengan fungsi & peran Humas sebab mayoritas praktisi media massa merupakan praktisi yang memiliki latar belakang ilmu jurnalistik. Sehingga hasil publikasinya terkesan seperti produk jurnalistik daripada publisitas Humas. Alasan ini juga berlaku saat memandang subtansi fotografi dalam kegiatan keHumasan di Madura. Sebab dalam konteks ilmu jurnalistik foto yang baik adalah foto yang menampilkan kejadian yang sebenarnya terjadi, hal ini sangat berbeda dengan fotografi Humas dimana pengaturan diperbolehkan demi mendapatkan foto yang menarik dan memiliki kekuatan pesan. Foto-foto yang menampilkan realita yang terjadi memang merupakan hal wajar dalam konteks ilmu jurnalistik namun dalam konteks Humas hal semacam ini perlu diperhatikan, apakah foto-foto tersebut membawa kesan positif atau justru sebaliknya.
Contohnya adalah peristiwa kebakaran di sebuah pabrik, dalam konteks ilmu jurnalistik seharusnya menggunakan foto tentang peristiwa kebakarannya, seperti apa yang terbakar, seberapa hebat kerusakannya. Penggunaan foto dalam sudut pandang tersebut berakibat masyarakat jadi mengetahui bahwa pabrik mengalami kerusakan hebat sehingga terkesan tidak mungkin bisa beroperasi lagi. Hal semacam ini justru akan berakibat pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pabrik tersebut. Namun jika dalam konteks keHumasan, seharusnya publisitas memilih foto yang menampilkan kesan jika peristiwa kebakaran tersebut tidak mempengaruhi stabilitas pabrik, misal foto-foto tentang aktiftas pabrik pasca kebakaran yang tetap normal atau foto yang menampilkan semangat karyawan saat gotong royong menata pabrik pasca kebakaran. Hal semacam ini justru akan memberi nuansa positif baik bagi lingkungan luar perusahaan atau lingkungan internal. Kesimpulannya adalah fotografi jurnlistik memilki subtansi yang berbeda dengan fotografi Humas meskipun kedua sama-sama memiliki konsep menyebarkan sebuah peristiwa.
Mayoritas praktisi Humas di madura memang menyadari akan kekurangan dalam subtansi keilmuannya terkait peran & fungsi Humas. Menyikapi hal tersebut banyak organisasi sengaja menyelenggarakan pelatihan guna memperdalam keilmuan praktisi Humasnya terutama tentang praktek keHumasan. Tetapi realita yang terjadi adalah pelatihan yang dilakukan justru pelatihan berbasis pelatihan ilmu jurnalistik bukan ilmu dan prinsip keHumasan sebagaimana mestinya. Hasilnya adalah praktek jurnalistik ala industri media lebih dominan dilakukan praktisi Humas daripada praktik keHumasan yang seharusnya. Seharusnya praktisi Humas melakukan kegiatan untuk membantu membentuk wajah organisasi dengan menerapkan prinsip-prinsip keHumasan bukan malah menjadi lembaga publikasi ala media massa. Istilah Bad News is Good News dalam ranah industri media massa jangan sampai diadopsi secara harfiah oleh praktisi Humas lantaran dominan menerapkan prinsip jurnalistik daripada prinsip keHumasan, seharusnya praktisi Humas mengerti dan menerapkan prinsip bagaimana Rare News has to be A Perfect News bagi organisasi.
Berbagai fenomena yang telah dijabarkan seharusnya menjadi perhatian bagi dunia keHumasan di madura supaya peran & fungsi Humas bisa maksimal membantu organisasi. Terlebih peran & fungsi Humas untuk menjebatani perbedaan kultur antara budaya madura dan budaya diluar Madura. Khususnya dalam hal subtansi fotografi dalam kegiatan Humas di Madura. Bagaimana peran fotografi sebagai media komunikasi visual bisa dimanfaatkan seacara maksimal oleh praktisi Humas di Madura. Kesalahan dalam memanfaatkan media komunikasi visual fotografi sebagai dampak ketidakpahaman atau kesalahan mendefinisikan fotografi Humas untuk segera bisa diatasi supaya tidak menimbulkan perbedaan pemaknaan. Kesalahan dalam pemanfaatan fotografi Humas bahkan bisa menimbulkan efek negatif bagi audience atau bagi lingkungan dalam organisasi. Kesimpulannya adalah subtansi fotografi dalam keHumasan menjadi salah satu hal yang sangat penting terutama dalam era new media saat ini.
Referensi
Abdi, Yuyung. 2011. Fotografi Dalam Sudut Pandang Piktorialis & Jurnalis. Surabaya: JP Books
Abdi, Yuyung. 2012. Photography From My Eyes. Jakarta: Elex Media Komputindo
Alwi, Audy Mirza. 2004. Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto Ke Media Massa. Jakarta: PT Bumi Aksara
Baksin, Afkurifai. 2006. Jurnalistik Televisi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Butterick, Keith. 2012. Pengantar Public Relations Teori Dan Praktik. Jakarta: PT Rajawali Pers.
Cangara, Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Jefkins, Franks – Daniel Yadin. 2004 Public Relations. Jakarta: Penerbit Erlangga
Mulyana, Dedy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Ruslan, Rosady. 2008. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi: Konsepsi Dan Aplikasi Jakarta: PT Rajawali Pers.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sukarya, Deniek G. 2009. Kiat Sukses DENIEK G. SUKARYA. Jakarta: PT Elex Media Komputindo – Kompas GRAMEDIA.
Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature. Bandung: PT. Refik Aditama.
Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : JALASUTRA
___________. 2011. Belajar Fotografi Untuk Hobby dan Bisnis. Jakarta: Dunia Komputer.